Senin, 01 Februari 2010

tiru

Kasihani
Pernahkah kau tumbuh dalam ketelanjangan?
Kau memalukan
Mencibir, memaksa mengendalikan
Tak mampukah kau kumpulkan air dalam awan yang menyelubungimu itu?
Ku tau
Matamu tak setajam prasangkamu
Tetesan embun dari lubuk matamu
Tak habis pikir ku tertawakan
Tak jarang
Tak sering, torehan luka selalu saja adanya

amarah

amarah

“Jangan...”
“Itu milikku”, aku tak perhatikan lagi. Langkahku kosong tak ada imaginasi yang membantuku menapakkan kaki ini.
“kau bisanya ngerusak” itu kembali terdengar dari mulutnya. Aku tunggu lagi apa yang sekiranya muncul dari kerongkongannya. Oh, tidak. Tak mampukah dia untuk mencercit lagi? kekotoran telah melubangi dan membuat hitam hatiku. Kurasakan setiap nafas begitu sesaknya. Tak ada ruang lagi untuk memisahkan sesuatu yang baik dan yang kotor.
Aku merasakan langkahku tak berirama lagi. keinginanku untuk kembali kepada orang itu dan membuat sesuatu. Aku ingin ia mengumpat kepadaku. Aku ingin dia keluar dari jeruji-jeruji pembatas. Biarkan ia mencabik-cabik. Kalau perlu biarlah dia membuat dirinya nyaman, sebelum ajalnya datang. Kukira dia perhatian kepadaku, tapi tak selamanya. Dia ku kenal dengan dua tanduknya yang begitu memerah. Kalau tak mampu menghadapi aku sendirian, mampunya minta bantuan. Dasar.Kerinduanku pada pukulan orang-orang yang membantunya begitu tinggi. Aku seperti sakau, tak ada obatnya ketika kekerasan tak aku alami lagi.
Yang kuharap dia juga merindukan hal yang sama. Dia meniarap dengan kemampuannya dan dengan tangkasnya menyapu mukaku dengan kotoran yang keluar dari ucapannya. Dendam tak berarti bagiku. Hati hitamku telah tak merindukan kemurnian lagi. yang aku ingin hanya umpatannya. Sindrom kataku.
Aku kini telah berhadapan dengannya. Tinggal aku tunggu reaksinya. Aku tak takut lagi, walaupun pedang dan lidah yang memerah telah menjulur layaknya ular yang siap mencumbui mangsanya. Air kencingku telah mengntal dan tak akan keluar karena takutnya. Aku tak tahan untuk menghadapi semua margasatwa yang muncul dari ucapannya. Itu yang membuat air kencingku ketakutan dan kubiarkan lari terbirit-birit lewat penutupnya. Kini. Hal itu tak berarti lagi. apa pun reaksinya saat melihatku itu yang menjadi bantal tidurku dan mengantar mimpiku yang indah.
“Pukullah aku”
“pukul”
Kata itu yang terus-terusan keluar dari mulutnya. Kepalaku menjadi pening. Tak seharusnya mataku ada padamu, kenapa sekarang perasaanku yang ada dalam lubuk hatimu pikirku.
“apa yang kau rasakan telah aku rasakan”
“apa yang kau inginkan aku inginkan” teriaknya.
Perlahan-lahan keringat mengucur dan mulailah aku terkencing-kencing. Aku tak pernah mendengar dari seseorang bahkan orang yang sering mengumnpatku mengatakan seperti itu. Aku tak merindukan hal ini.
“jangan”
“ itu milikku” teriakku

Sabtu, 30 Januari 2010

cerpen kemanusiaan

Samar-samar
Darah yang keluar dari keningnya masih segar. Semua orang yang pertamanya tidak antusias, kemudian berlari dan berteriak, seakan suatu kejadian hebat baru saja terjadi padanya atau pada keluarganya. Apakah mungkin ini orang yang mereka cintai? Kalau tidak mengapa banyak orang saling menangisi? Apakah dia pelacur jalanan yang sering mereka jajakan, karena saingan sehingga timbul perkelahian? Tak satupun yang mampu untuk memnjawab pertanyaanku selagi mereka masih menangis dan saling menghibur seperti itu.
Aku mencoba bertanya kepada salah satu diantara mereka. Mereka tak bergeming tak satupun huruf hidup yang keluar, seolah semua huruf yang ia keluarkan berbunyi konsonan. Kubiarkan diriku dicaci dan banyak orang memakiku karena kebodohanku dan ketololanku yang tidak mengetahuai siapa yang terbunuh itu. Mampuskah aku? Pikirku. Sekarang yang menjadi perhatianku bukannya orang yang mati itu atau orang yang dengan hiperbolanya menangisi kematiannya.
Tepat di pinggir jalan itu ada sebuah warung. Aku melihat dengan kepuasannya menghisap rokok. Aku hanya berprasangka, apakah benar orang ini yang membunuhnya? Tapi, kenapa kalau dia yang membunuh, ia tidak melarikan dirinya jauh-jauh? Ah, tak perlu jauh untuk memikirkan hal itu. Tapi bagaimana kalau dia memang benar yang membunuh? Tidakkah membuatku menjadi terkenal. Aku bias dimuat dalam majalah daerah. Kalau beruntungkan ada reporter televise yang mewancaraiku. Tapi kalau salah, aku nanti yang kena sanksinya. Aku bias dihukum.
Orang yang mati ini sudah tidak membutuhkan pertolongan lagi, aku tak penting berada di sini. Kepergianku akan membuat angan-anganku tenang dan prasangka dalam kepada orang tadi tidak membuatku naik darah. Aku tak memperoleh sesuatu karena aku tidak membuat sesuatu. Perjalanan hidupku masih panjang. Aku pun sempat mengingat masa lalu. Seandainya aku tidak dijodohkan sama tetanggaku, mungkin hidupku akan tenteram di rumah bersama keluarga dan bias berbagi kebahagiaan dengan orang yang aku kasihi. Kini aku tidak jelas kemana harus berlari. Setiap perjalanan membuat mataku kaku. Tak satu pun aku temui, ya, tak satu pun aku temui. Di mana dia? Kalau dia masih ada pada dunia ini pastinya aku melihat kemewahannya. Ah, tak perlu lagi untuk mencari itu. Tapi kalau aku tidak mancari kemana aku harus pergi? Setengah perjalanku telah membakar kakiku. Saperempat langkah lagi pasti kutemui atau aku mati seperti orang tadi?
Pencarianku samar tak jelas. Seolah ada seolah menggiurkan, seolah perlahan-lahan membumihanguskanku. Pasti tidak. Aku relakan untuk meninggalkan semua, harta, keluarga tetapi tak satu pun pedulli padaku. Selama ini tak satu yang bertanya apa keinginanku. Aku. Ah, bukan aku. Ah… kuteriakkan seperti kesakitan, tapi ini lebih sakit dari orang yang mati tadi. Aku menangis bukan karena ketidakmampuanku untuk menakhlukkan orang tuaku. Orang tuaku sendiri yang membuat aku terus mencari dan orang tuaku pula yang membuat aku begini. Mana perhatianmu? Mana cintamu yang dulu? Jangan kau salahkan aku jika aku harus mancari diriku yang telah mati.